Rabu, 20 Januari 2010

burung sulawesi

Mingrasi BURUNG SULAWESI

BURUNG SULAWESI bermigrasi?
Lho, bukannya semua jenis burung sulawesi adalah penetap? malah banyak yang endemik?
atau burung-burung migran yang justru datang ke Sulawesi?
Lantas kenapa judulnya Migrasi burung Sulawesi?

Begini teman-teman...
Yang bermigrasi ( pindah) itu adalah 'Habitat'-nya. Kalo dulu burung sulawesi menempati habitatnya di sini (diblogger), sekarang burung sulawesi pindah ke sini. Dan terhitung sejak tanggal 20 Januari 2007, Burung Sulawesi sudah menempati habitat barunya.
Semoga saja makin betah di habitat barunya.

Sampai jumpa di habitat baru BURUNG SULAWESI.
Selanjutnya...!

Thursday, January 04, 2007

Perjuangan seekor anak maleo



Lucu dan imut, itulah kesan pertama kali saat saya melihat anak maleo yang baru menetas. Namun hal yang lebih mengesankan dan membuat saya terkagum-kagum adalah saat melihat proses si anak maleo keluar dari dalam tanah setelah melewati masa "pengeraman". Rasa kagum itu semakin bertambah begitu melihat si anak maleo yang baru saja mencapai permukaan tanah tersebut ternyata sudah bisa terbang. Ya, terbang. Tak seperti layaknya anak unggas pada umumnya yang butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa terbang. Begitulah keistimewaan anak maleo.

Namun siapa sangka, di balik kelucuan dan istimewaannya, si anak maleo ternyata memikul beban yang begitu berat nyaris setelah ditetaskan. Tanpa kehadiran sang induk saat matanya pertama kali melihat dunia ini, tanpa bimbingan sang induk untuk mencari makan dan terbang, tanpa perlindungan sang induk di saat bahaya menghampiri, bahkan, untuk keluar dari cangkang dan muncul ke permukaan bumi ini pun mereka harus berjuang sendiri. Tak jarang diantara mereka dijumpai mati saat dalam "perjalanan" mencapai permukaan tanah, terkadang mereka dijumpai dengan kepala yang sudah nongol di permukaan tanah, tapi sudah mati dikerumuni semut. Terkadang pula mereka dijumpai berhasil mencapai permukaan tanah namun sudah tanpa kepala di badan. Paling tidak, begitulah sedikit gambaran penderitaan dan perjuangan yang harus dilalui oleh anak maleo.

Ingin tau kelanjutan kisahnya klik disini
Selanjutnya...!

Friday, December 22, 2006

Berburu Burung Hantu dan Raja Udang di Tangkoko (lanjutan)

Hari semakin gelap dan para penghuni malam mulai bermunculan memberikan sinyal akan kehadiran mereka. Saya melirik jam tangan saya, sudah jam 18:20. Setelah mendirikan tenda, kemudian meneguk kopi hangat dan mejejali perut ini dengan beberapa potong crackers, kami pun bersiap dengan peralatan "berburu" burung malam (teropong dan senter). Si Uchu dan Nick bahkan sudah melengkapai peralatan mereka dengan alat perekam suara burung (tape, microphone, dan speaker).

Adalah Eurostopodus macrotis, jenis burung yang pertama kali menyapa kami dengan suaranya yang khas. Sulit terlihat, karena memang suaranya terdengan jauh dari lembah. Menyusul kemudian suara Celepuk Sulawesi Otus manadensis. Nah kalo yang ini suaranya dekat saja. Kami kemudian memancingnya dengan siulan (meniru suaranya), yang sesekali diselingi dengan memainkan rekaman suaranya. Lama-kelamaan burung itu pun mendekat, hingga akhirnya terlihat. Tak perlu beranjak jauh dari lokasi camp, dari sisi hutan yang lain terdengar suara yang lantang. Suaranya yang lantang itu cukup mengejutkan kami yang sedang asyik diam mengamati Celepuk Sulawesi. Cukup dekat memang, sekitar 10 meter dari tempat kami berdiri. Spontan, kamipun lantas mengendap-ngendap mengahampiri tempat darimana suara itu berasal. Nick dan Uchu kemudian merekam suaranya, yang lantas memainkannya kembali untuk memancing dia. Dari suaranya tersebut, kami mengenal siapa pemilik suara itu, yang tidak lain adalah Ninox ochracea. Beberapa kali Si burung bahkan memberikan iramanya yang khas (seperti suara burung Tekukur), seolah dia sudah mengerti bahwa keberadaannya sudah kami ketahui.

Sekarang, suara itu sudah berada diatas kepala kami. Namun sang pemilik suara belum juga kelihatan. Rindangnya pohon serta rapatnya tajuk membuat kami kesulitan untuk menemukannya, hingga akhirnya kamipun berlalu. Kata Nick,"Selalu ada alasan untuk kembali lagi".

Kami terus bergerak ke arah puncak Tangkoko. Jaraknya tinggal 1.5 km lagi, tapi jalannya sudah semakin terjal. Sesekali kami berhenti dan memainkan beberapa rekaman suara burung malam yang sudah kami punya. Berharap, barangkali saja ada yang mau merespon rekaman suara tersebut. Usman tak lupa pula mengambil koordinate posisi pengamatan kami dengan alat GPS. (Kalau ada yang belum tau apa itu GPS, bisa baca di sini).


Hujan gerimis sempat menghentikan langkah kami. Untunglah itu hanya berlangsung sesaat, dan tanpa meluluhkan semangat kami. Perjalanan pun kami lanjutkan hingga akhirnya kami berhenti di titik 5000. Puncak tinggalah 500 meter lagi, tapi kaki ini seolah berat untuk melangkah. Malam semakin dingin, dan terasa sepi. Yang ada hanyalah bunyi-bunyian serangga malam. Itupun tak seramai biasanya. Barangkali gerimis tadi telah membuat mereka memilih untuk diam dan beristirahat.



Sambil beristirahat, Nick mencoba memainkan
rekaman suara burung malam yang berhasil direkamnya dari Pulau Sumatera. Tiba-tiba saja dari kejauhan terdengar suara balasan. Ya, suara itu merespon salah satu rekaman suara burung malam tadi. Entah suara dari jenis burung mana yang diresponnya, saya tak ingat lagi. Namun yang pasti, burung yang merespon suara rekaman tadi adalah Celepuk Sulawesi. Tak tanggung-tanggung, ada 3 individu yang merespon. Rekaman terus dimainkan berulang-ulang sampai akhirnya salah satu dari ketiganya terlihat oleh kami. Saya pun berhasil mengabadikannya, meskipun dalam kondisi yang buruk (sinar hanya mengamndalkan cahaya senter ditambah lagi dengan kabut).

Pukul 22.30, kami sepakat untuk turun. Dan dalam perjalanan kembali ke camp, kami diguyur hujan deras. Tiba di camp pada pukul 00.00 dengan pakaian yang basah kuyup. Meskipun demikian, kami tetap merasa senang. Bagi saya pribadi, perjalanan ini sangat saya nikmati. Rasanya sudah cukup lama tidak merasakan guyuran hujan lebat dimalam hari. hmmmm...nikamati sekali.

Selanjutnya...!

Tuesday, November 28, 2006

Berburu Burung Hantu dan Raja Udang di Tangkoko

Tangkoko memang selalu menarik dan ideal untuk mengamati burung, khususnya di daerah Sulawesi bagian Utara. Selain mudah dijangkau, di sana juga terdapat beberapa jenis burung endemik Sulawesi yang relatif mudah dijumpai.

Minggu lalu, tepatnya hari Jumat dan Sabtu (24-25 Nopember 2006), saya bersama-sama dengan "penggila burung" lainnya: Nick, Uchu, Usman, dan Antri (tiga nama yang disebutkan di awal juga tergabung dalam SBI-Info, sedangkan Antri adalah anggota Kelompok Guide Lokal bernama KONTAK) berkesempatan menyambangi lagi "surga" bagi pengamat burung ini.

Kunjungan kami kali bertujuan untuk "berburu" burung hantu dan raja udang Cekakak-hutan dada-sisik Actenoides princeps, tapi bukan berarti jenis lainnya pun lantas diabaikan. Bagi saya, kesempatan ini juga saya manfaatkan untuk berburu foto burung (Beberapa hasilnya seperti foto-foto Raja Udang yang ada di samping ini).

Jumat siang, kami tiba di POS 1, pintu masuk ke Cagar Alam (CA) Tangkoko. Ada informasi baru sehubungan dengan tarif masuk dan guiding untuk kawasan Tangkoko yang telah disepakati oleh pengelola kawasan (BKSDA Sulut) dan Kelompok Guide (KONTAK). Untuk trip disekitar Pos 3 (ke tempat Tarsius, dan Berigin Lubang) tarifnya adalah Rp.80,000 per trip, sedangkan trip ke Puncak Tangkoko, tarifnya adalah Rp.200,000 per trip. Tarif tersebut sudah termasuk biaya retribusi masuk dan guiding fee. Dari tarif tersebut juga sudah disisihkan biaya untuk mendukung patroli rutin di kawasan CA. Tangkoko.

Setelah segala urusan administrasi selesai, sekitar pukul 15:00, kami mulai bergerak ke arah Puncak Tangkoko. Baru saja kaki ini melangkah, kami langsung disambut oleh Cekakak-hutan tunggir-hijau Actenoides monachus yang sedang bertengger tidak jauh dari jalan. Jenis ini merupakan salah satu jenis Raja Udang endemik Sulawesi dan umum dijumpai di hutan-hutan dataran rendah. Setelah berjalan sekitar 500 meter ke dalam hutan, kembali kami berpapasan dengan jenis raja udang lainnya yaitu Raja-udang pipi-ungu Cittura cyanotis. Semakim jauh ke dalam, pada point 1250 meter dari arah pantai, seekor raja udang kecil Udang-merah Sulawesi Ceyx fallax trelihat sedang duduk di cabang pohon, tidak jauh dari jalur jalan ke puncak. "Tangkoko memang surga bagi raja udang di Sulawesi", batin saya. Saya pun jadi teringat akan tulisan tentang Surga Raja Udang disini.

Sepanjang sisa perjalanan ke puncak, burung Julang Sulawesi Rhyticeros cassidix selalu terlihat terbang di atas kanopi pohon, seolah mengawal perjalanan kami sambil mempertontonkan manuver-manuver khas mereka. Tidak ketinggalan pula nyanyian burung-burung endemik Sulawesi lainnya, seperti, Cabai panggul-kuning Dicaeum aurelimbatum, Cabai panggul-kelabu D. celebicum, Raja-perling Sulawesi Basilornis celebensis, Blibong pendeta Streptocotta albicollis, Pelatuk-kelabu Sulawesi Mulleripicis fulvus, dan Kring-kring dada-kuning Prioniturus flavicans. Sempat juga terlihat seekor Paok hijau Pitta sordida sedang mencari makan sekitar4 meter dari jalur jalan. Akhirnya, pengamatan sore ini pun harus kami akhiri pada pukul 17:45, begitu kami tiba di titik 4000 meter. Disinilah tempat kami bermalam. Kami pun langsung sibuk mempersiapkan tenda dan makan malam, sebelum memulai perburuan mencari burung hantu.

Bersambung .

Selanjutnya...!

Wednesday, November 15, 2006

Gelatik jawa

Burung ini, sebenarnya bukanlah burung asli Sulawesi. Kemungkinan mereka diintroduksi (dibawa masuk) di Sulawesi dan juga di NTB.

Dari namanya, sudah pasti kita dapat menduga dari mana asalnya, Pulau Jawa. Memang benar, aslinya, jenis ini berasal dari pulau Jawa. Tapi ironis, mereka justru hampir punah di tanah aslinya. Penangkapan besar-besaran dengan maksud untuk diperdagangkan, mungkin menjadi penyebab utama menurunnya populasi mereka di Pulau Jawa.

Saat ini, status keterancaman Gelatik jawa dikategorikan dalam Vulnerable (Rentan). Anda bisa membaca informasi selengkapnya di sini. Dan barangkali karena alasan itulah, sebuah tim ekspedisi, saat ini sedang berupaya untuk mempelajari dan menguak bagaimana status mereka terkini.

Lantas, mengapa saya menulis tentang si Gelatik jawa ini? tidak lain karena mereka ternyata ada (berkeliaran) di sekitar rumah saya. Itupun saya tahu setelah istri saya memberitahukannya beberapa hari yang lalu (beruntunglah saya punya istri yang juga tertarik dengan dunia burung (ornithology)) . Dan karena itulah, hari ini, saya ingin sekali sekali untuk mendapatkan fotonya.

Beruntung. Pagi ini, empat individu terlihat sedang mencari makan di areal kosong di depan rumah. Sesekali mereka terbang ke jalan dan kemudian menghilang lagi dan berbaur bersama sekelompok Bondol rawa Lonchura malacca. Namun yang lebih beruntung lagi, saya berhasil mengabadikan mereka dengan kamera kesayangan saya.



Perjumpaan lainnya dengan si Gelatik jawa ini bisa Anda baca di sini.

Lewat postingan ini pula, saya ingan mengucapkan SELAMAT BERJUANG buat Tim Ekspedisi yang di komandani langsung olah Kang Iwan Londo. Sukses untuk Ekspedisinya.

Selanjutnya...!

Tuesday, November 07, 2006

Hasil Buruan

Kali ini, saya bagi untuk Anda foto-foto burung hasil buruan di sekitar rumah.

1. Bondol peking (Lonchura punctulata)



2. Burung gereja-erasia (Passer monthanus)



3. Kacamata-dahi hitam (Zoosterops atrifrons)


4. Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis)


5. Mandar-padi zebra (Galirallus torquatus)


Selanjutnya...!

Monday, November 06, 2006

Sarang


Oleh-oleh dari sekitar rumah. Ternyata salah satu pohon mangga yang ada di areal kosong di depan rumah tempat tinggal saya menjadi favorit bagi beberapa jenis burung kecil, seperti: Burung madu, Cabai, burung Gereja, Kacamata, serta Bondol.
Apa gerangan yang membuat burung-burung ini menyukai pohon mangga tersebut? Buah? bukankah burung-burung itu suka berkerumun di pohon yang banyak bunga dan buahnya? ternyata tidak. Bahkan selama pengamatan saya, pohon mangga ini belum pernah berbunga, apalagi berbuah. Lantas apa yang menarik burung-burung tersebut lalu lalang, keluar masuk dari pohon mangga tersebut? Entahlah. Hal itulah yang membawa langkah saya untuk mengamati dari dekat, ada apa dengan pohon mangga tersebut?
Perlahan-lahan sambil mengendap-ngendap, saya menghampiri pohon mangga tersebut. Beruntung itu bukan di halaman tetangga, kalau iya, tamatlah saya digebukin warga karena dianggap pencuri.
Di dekat batu besar, di bawah pohon mangga tersebut saya berhenti, intip sana, intip sini, sesekali saya gunakan jendela intip kamera untuk melihat benda yang agak jauh, hingga akhirnya... ketemu.


Ya, saya melihat sarang burung, tidak jauh di atas kepala saya (sekitar 3 meter dari tanah), diantara rimbunan daun, diujung cabang pertama. Dari bentuknya serta susunan material sarang tersebut, saya berkesimpulan ini bukanlah sarang burung madu dan juga bukan sarang Punai (seperti yang ini). Dari pengamatan saya, sarang tersebut tersusun dari dedaunan kering (yang sudah tercabik-cabik), rumput-rumput kering (seperti alang-alang) dan ada juga bahan seperti kapas (tapi bukan kapas), mungkin bunga alang-alang. Sarang itu pun tidak digantung di cabang atau ranting (layaknya sarang burung madu), akan tetapi diletakkan dengan rapi di antara ranting-ranting pohon. Dari bawah, Saya coba mencari lubang masuk ke sarang tersebut, tapi gagal. Tampaknya sebagian besar sarang tertutup, dengan pintu (lubang masuk) pada salah satu sisinya.

Lantas, milik jenis burung manakah sarang misterius ini?

Saat mengamati sarang tersebut, tiba-tiba terdengar beberapa ekor burung datang dan hinggap pada sisi lain pohon mangga tersebut. Saya pun kembali bersembunyi di balik batu besar dan berharap diantara mereka adalah pemilik sarang "misterius" ini.
Tak berapa lama kemudian, beberapa ekor burung mendekat ke sarang. Sambil menahan nafas, Saya mengintip dari balik batu dengan kamera yang siap di bidik, dan lalu... dapat.

munia

Dari balik jendela intip kamera, saya berhasil mengidentifikasi seekor burung kerukuran kecil (kira-kira 10 cm), paruh abu-abu-keputihan, bagian atas coklat, bagian bawah putih bersisik gelap. Yap, tidak salah lagi, itulah Bondol peking Lonchura punctulata. Salah satu jenis yang umum di jumpai di habitat padang ilalang dan semak belukar. Dengan kamera di tangan, saya lantas mengabadikan beberapa momen dari si Bondol peking. Hingga mereka pergi meninggalkan sarangnya untuk mengambil material lainnya yang tertinggal.

Selesai? ternyata belum. Setelah bangkit dari balik batu, saya mengitari pohon mangga tersebut. Dan kembali saya berhasil menemukan satu lagi sarang burung. Kali ini di cabang tertinggi dari pohon mangga.

Sedikit berbeda dari sarang yang satunya, yang ini bagian atasnya terbuka. Jika dilihat dari bawah sarang ini tampak seperti wadah (mangkok). Bahan-bahannya sama seperti sarang milik si Bondol peking. Yang menarik perhatian adalah di sarang ini terdapat seekor anak burung yang masih belajar terbang. Sepertinya sang anak baru ditetaskan sebulan yang lalu (atau mungkin lebih). Satu hal yang pasti anak burung tersebut sudah memiliki bulu-bulu yang lengkap. Dari sang anak burung inilah, saya bisa memastikan kalo sarang yang satu ini adalah miliki dari burung Gereja. Misteri pohon mangga pun terpecahkan.
Selanjutnya...!

Thursday, November 02, 2006

Mengamati Burung di Sekitar Rumah


Mengamati burung memang tidak harus ke hutan. Kita dapat melakukannya di mana saja, bahkan dipemukiman yang padat penghuninya sekalipun. Mengamati burung di sekitar rumah menjadi alternatif bagi mereka yang punya kesibukan, sehingga hampir tidak punya waktu untuk melakukan perjalanan ke hutan. Selain murah (karena tidak perlu transport, penginapan dan makanan/cemilan), kita pun masih dapat meluangkan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah lainnya. Paling tidak, begitulah yang saya lakukan selama masa liburan Lebaran kemarin. Bahkan, saya cukup mengamati burung dari halaman rumah, masa iya sih? Saya bagi ceritanya untuk Anda.

Hampir setahun belakangan ini, Saya tinggal di kompleks perumahan di pinggiran Kota Manado (Anda sudah pasti dapat membayangkan bagaimana kondisi hunian di kompleks perumahan). Namun beruntung, di depan rumah terdapat areal kosong yang oleh pemiliknya biasanya ditanami tanaman setahun (seperti jagung dan kacang-kacangan). Beberapa bulan terakhir ini, areal seluas kurang lebih 3 ha ini sudah tidak ditanami lagi sehingga sebagia besar lahan tersebut telah ditutupi oleh rerumputan dan semak belukar. Pada bagian pinggiran lahan ditumbuhi rumpun-rumpun bambu dan beberapa pohon mangga.

Pada awal kepindahan kami ke tempat ini, saya telah memperhatikan kehadiran beberapa jenis burung yang umumnya dijumpai pada habitat seperti itu, seperti Kuntul Kerbau Bubulcus ibis, Bubut alang-alang Centropus bengalensis, dan Burung Gereja-Erasia Passer montanus. Khusus untuk Burung Gereja, Saya punya misi tersendiri yaitu untuk mendapatkan fotonya. Selain mereka mudah dijumpai, juga untuk belajar Photography burung dan menjajal "kehebatan" dari kamera Canon S3 IS dengan lensa 12X optical zoom yang sudah terpasang.

Belakangan ini (khususnya selama masa libur lebaran kemaren), setelah diperhatikan lebih seksama ternyata areal tersebut menjadi hunian bagi beberapa jenis burung lainnya. Pada lantai semak belukar, dapat kita jumpai jenis-jenis burung seperti Mandar-padi zebra Gallirallus torquatus, Mandar-padi kalung-kuning Gallirallus philippensis, dan Puyuh batu Coturnix chinensis. Di tajuk-tajuk semak belukar terlihat berseliweran jenis-jenis pemakan biji-bijian seperti Bondol rawa Lonchura malacca dan Bondol peking L. punctulata. Sementara pada salah satu pohon mangga yang ada menjadi tempat bagi sekelompok jenis burung madu seperti: Burung-madu hitam Nectarinia aspasia, Burung-madu sriganti N. jugularis, Burung-madu kelapa Anthreptes malacensis. Masih di pohon mangga yang sama juga terlihat Kacamata dahi-hitam Zoosterops atrifrons, Cabai panggul-kelabu Dicaeum celebicum dan Cabai panggul-kuning D. aureolimbatum. Pada sudut lain, di salah satu pohon mati bertengger dengan gagahnya Cekakak sungai Halcyon chloris dan sekelompok kecil (3-5 ekor) Cucak Kutilang Pycnonotus aurigaster. Jika kita menengadah ke langit, kita akan melihat Walet sapi Collocalia esculenta dan Layang-layang batu Hirundo tahitica beterbangan dengan sesekali memperlihatkan atraksi manuver ciri khas mereka. Pada waktu-waktu tertentu (seperti pada bulan Maret lalu) sering melintas sepasang Karakalo australia Scythrops novaehollandiae. Sesekali Elang Bondol Haliastur indus datang mengitari areal terbuka ini, berharap ada mangsa buruan yang sedang lengah. Pada waktu senja, di saat burung-burung lainnya mulai pulang ke peraduan, Taktarau besar Eurostopodus macrotis keluar memulai perburuannya dan pada saat malam semakin larut, kita dapat mendengar suara khas dari Serak Sulawesi Tyto rosenbergii seakan memberitahukan kepada para penghuni malam akan kehadirannya. Suara khasnya ini akan terdengar hingga tengah malam. Keesokan harinya, di saat matahari pagi belum menampakkan wajahnya dari ufuk Timur, nyanyian pagi Pelanduk sulawesi Trichastoma celebense mulai memecah keheningan pagi, yang kemudian disambut oleh siulan dan nyanyian jenis-jenis burung lainnya.

Ternyata, mengamati burung di sekitar rumah tempat tinggal kita punya keasyikan tersendiri. Bagaimana dengan Anda?

Selanjutnya...!

Friday, October 06, 2006

Cinnabar Hawk Owl (Ninox ios)

Hari senin lalu (2 Oktober 2006), saya menerima Journal Burung favorite saya, namanya Forktail. Mungkin ada teman-teman yang belum tau apa itu Journal Forktail?
Journal Forktail adalah salah satu journal burung-burung asia (Journal of Asian Ornithology) yang memuat tentang hasil-hasil penelitian dan observasi burung-burung di Asia. (Sekedar informasi, Bagi teman-teman yang tertarik ingin belajar lebih banyak tentang dunia perburungan kita bisa tanya ke ahlinya). Journal ini diterbitkan oleh Oriental Bird Club (OBC), dan saya beruntung bisa menerima ini karena saya mendapatkan kesempatan sebagai Honorary Member dari OBC. Para anggota OBC lainnya tentunya juga sudah pada menerima journal edisi kali ini, yaitu edisi No 22 August 2006.

Tapi yang menarik bagi saya adalah artikel yang ada pada halaman 120 yang berjudul "Observation of Cinnabar Hawk Owl Ninox ios in Gunung Ambang Nature Reserve, North Sulawesi, Indonesia, with a description of a secondary vocalization.

Lha ...ini kan lokasi yang sama dimana teman-teman dari PALS bersama mahasiswa UDK juga melakukan survey tentang burung hantu (baca postingan saya terdahulu berjudul BURUNG HANTU: berita dari lapangan 2).

Ringkasnya, Maksud dari tulisan yang ada pada Journal tersebut adalah untuk menginformasikan kepada kita semua terutama para "penggila burung" bahwa mereka (para penulis yang terdiri dari Robert Hutchinson, James Eaton, dan Phil Beansted) telah melakukan observasi di Cagar Alam Gunung Ambang dan telah berhasil berjumpa dengan salah satu jenis burung malam (Ninox ios) sekaligus mendeskripsikan secondary vocalization dari jenis tersebut. Pada akhir tulisan, mereka berharap dengan telah dideskripsikannya suara dari N. ios tersebut maka survey tentang status sebenarnya dan distribusi dari jenis ini sudah bisa dilakukan.

Menyambungkan apa yang diharapkan oleh para penulis dengan apa yang telah dilakukan oleh teman-teman PALS bersama mahasiswa UDK di lapangan bahwa, YA, klop-lah sudah.

Survey tentang status keberadaan dan distribusi dari jenis N. ios (bahkan jenis burung malan lainnya) telah dilakukan bahkan sebelum tulisan tersebut dipublikasikan.
Mungkin yang diharapkan dari sini adalah hasil temun teman-teman dilapangan harus dipublikasikan di Journal yang sama atau di Bulletin Kukila (Bulletin yang diterbitkan oleh Indonesian Ornithological Union (IdOU), yang memuat tentang hasil penelitian dan observasi khusus burung-burung yang ada di Indonesia. Agar hasil tersebut dapat melengkapi informasi tentang jenis N. ios yang sangat kurang datanya. Sekedar informasi jenis ini termasuk dalam daftar jenis terancam punah dengan kategori Rentan (Vulnerable).

Selanjutnya...!

Tuesday, October 03, 2006

Kisah penyelamatan Sang Tyto

Satu lagi "oleh-oleh" dari lapangan yang di bawa tim survey burung hantu. Oleh-oleh ini berupa kisah tentang penyelamatan terhadap salah satu jenis burung hantu Sulawesi bernama Minahassa Masked Owl, yang dalam nama ilmiahnya dikenal dengan nama Tyto inexspectata. Alkisah...

Pada saat tim hendak melanjutkan survey dari salah satu sisi Cagar Alam Gunung Ambang, yaitu Desa Manembo, terdengar kabar bahwa salah seorang anggota MAPALA Wallacea Universitas Dumoga Kotamobagu membeli seekor burung hantu dan jenis itu adalah jenis endemik Sulawesi yang sudah di ambang kepunahan. Jenis yang menjadi target penelitian kami dan sangat sulit untuk dijumpai. Jenis tersebut tidak lain adalah T. inexspectata. Oleh Birdlife, jenis ini telah dikategorikan sebagai jenis burung terancam punah dengan kategori keterancaman Rentan (Vulnerable). Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya tim memutuskan putar haluan menuju markasnya MAPALA Wallacea.
Benar saja, setibanya di Markas Mapala tersebut, tim langsung mendapati Sang Tyto sedang berada dalam kondisi terbelenggu. Kedua kakinya terikat dengan rantai. Sunggung pemandangan yang memilukan.

Dari keterangan mereka, Sebelum berada disana, burung tersebut adalah hasil tangkapan salah seorang penduduk desa setempat (Gogagoman-Kotamobagu) yang kemudian dibeli (hanya seharga Rp5,000) oleh salah seorang anggota Mapala yang kebetulan sudah menegenal jenis tersebut adalah jenis endemik Sulawesi. Entah apa yang memotivasi pembelian burung hantu tersebut hingga akhirnya burung tersebut pun dipelihara di Sekretariat mapala. Kurang lebih sebulan burung tersebut mereka pelihara dengan memberikan makanan seperti cecak, jeroan ayam, hingga burung gereja (Passer montanus).

Tidak tahan melihat kondisi sang burung yang terbelenggu seperti itu (apalagi itu adalah jenis endemik Sulawesi), maka Uchu (tim leader) meminta mereka untuk melepaskan burung hantu tersebut. Dan akhirnya mereka mau (dengan ikhlas) melepaskan burung tersebut (itupun harus melalui penjelasan panjang lebar tentang keberadaan dan status dari jenis tersebut).



Kemudian, dengan beramai-ramai tim bersama beberapa anggota Mapala membawa burung hantu tersebut ke hutan Gunung Ambang. Namun malang bagi sang burung, karena ternyata dia sudah tidak dapat terbang lagi (paling tidak untuk saat itu). Entah apa penyebabnya, mungkin karena kakinya sudah terlalu lama dibelenggu. Hingga akhirnya diputuskan untuk dibawa turun kembali ke sekretariat malapa. Namum Uchu berpesan agar rantainya di lepas saja.

Setiba di sekretariat, Sang Tyto dibuatkan tenggeran dan rantainya di lepas. Mereka pun terus memberikannya makanan. Beberapa malam kemudian, Sang Tyto mengeluarkan suaranya seraknya yang khas. Mungkin itu pertanda TERIMA KASIH dari sang Tyto yang merasa sudah bebas.

Pada malam lainnya, suara serak tersebut mendapat balasan dari individu lainnya yang pada malam-malam sebelumnya mulai terlihat di sekitar kampus. Apakah itu teman, saudara, pasangan? Entahlah...

Yang pasti pada malam selanjutnya (kurang lebih seminggu setelah mereka mencoba melepaskannya dihutan), Sang Tyto sudah tidak kelihatan lagi di tempat tenggerannya.

Selamat Jalan Tyto inexspectata. Selamat menikmati hari-hari kebebasanmu.

Terima kasih buat Tim Survey Burung Hantu (Uchu, Kasman, Karman, Sherly, Amu, Zibu, dll.) yang telah berbagi kisah ini. Juga buat Ovan, thanks atas foto-fotonya.